Pengetian Munada dan Irabnya

Munada adalah isim yang terletak setelah huruf nida', dengan tujuan untuk memanggil atau menyeru. Adapun an-nida adalah meminta seseorang untuk menghadap dengan menggunakan huruf yang mengganti fi‘il (أَدْعُوْ) atau (أُنَادِيْ). Adat an-nida ada 8, yaitu:

Dari semua adat an-nida’ di atas ada yang digunakan untuk memanggil yang jaraknya dekat dan yang jaraknya jauh. Untuk memanggil yang jaraknya dekat, menggunakan (الهمزة) dan (أي). Adapun huruf-huruf yang lain dipergunakan untuk memanggil yang berjarak jauh. Ada pendapat lain bahwa Ya (يَا) merupakan huruf nida yang paling umum dan bisa digunakan untuk yang dekat maupun yang jauh.

Berikut contoh penggunaan huruf nida’:

Wahai yang tidur, bangun!

Wahai Muhammad, kemarilah!

Wahai anakku, jauhilah bergunjing sesungguhnya bergunjing membuahkan kedengkian.

Wahai orang lalai, kematian akan menyertainya.

Wahai Muhammad, ke sini!

Wahai suamiku dan anakku.

Irab munada ada dua macam, yaitu mashub dan mabni dhammah.

Munada diirab manshub apabila berupa:

Contoh:

Kata (رَسُوْلَ) dan (مُدَرِّسِي) berirab manshub karena berkedudukan sebagai munada dan bentuknya mudhaf.

Syibhul mudhaf adalah kata yang posisinya mirip dengan mudhaf, namun maknanya bukan idhafah.

Contoh:

Kata (طَالِعًا) adalah munada manshub dengan fathah karena menyerupai mudhaf. Adapun kata (جَبَلًا) berkedudukan sebagai maf’ul dari kata sebelumnya yang beramal.

Nakirah ghair maqshudah adalah kata yang umum dan tidak ditujukan pada orang atau benda tertentu.

Contoh:

Kata (رَجُلًا), (رَجُلَانِ), dan (رِجَالًا) adalah munada manshub karena nakirah ghairu maqshudah.

Munada diirab mabni dhammah apabila berupa:

Isim ‘alam adalah kata yang digunakan untuk nama. Isim ‘alam yang mabni juga harus mufrad bukan berupa murakkab.

Contoh:

Perlu dicatat bahwa apabila ‘alam dimabnikan atas dhammah dan tidak ditanwin, karena isim mabni tidak ditanwin. Maka tidak boleh mengatakan:

Nakirah madshudah adalah kata yang umum tapi ditujukan pada seseorang atau benda tententu.

Contoh:

Untuk membedakan nakirah maqshudah dan ghair maqshudah adalah dengan mengetahui posisi dan keadaan orang yang dipanggil. Apabila yang dipanggil berada di depannya dan ia memaksudkan dengan panggilannya kepada orang tersebut, maka ia mengatakan:

Apabila di depannya tidak ada seorang pun dan ia meminta tolong kepada siapa pun yang mendengar seruannya, maka ia mengatakan:

Contoh yang pertama disebut nakirah maqshudah. Sedangkan yang kedua disebut ghair maqshudah.

Perlu diperhatikan apabila ‘alam atau nakirah maqshudah isim mufrad maka dimabnikan atas dhammah dan tidak ditanwin, karena isim mabni tidak ditanwin. Maka kita katakan:

Bukan:

Jika yang dipanggil berupa isim yang ada lam ta’rifnya, maka huruf nidanya mesti memakai tambahan dan munada berkedudukan sebagai sifat.

a. Menambahkan kata (أَيُّهَا) untuk mudzakkar atau (أَيَّتُهَا) untuk muannats. Contoh:

b. Menambahkan isim isyarah. Contoh:

Dikecualikan pada lafadz jalalah (الله) yang tidak perlu kata tambahan, maka dikatakan:

Kebanyakannya dalam menyeru nama Allah Ta’ala memakai (اللهُمَّ) dengan mentasydidkan mim sebagai ganti dari huruf nida’.

Boleh juga membuang huruf nida dan menetapkan munadanya.

Contoh:

Asalnya:

Apabila munada diidhafahkan kepada ya’ mutakallim, maka boleh menghapus ya’ tersebut dan cukup diganti dengan kasrah.

Contoh:

Asalnya:

Untuk ayah dan ibu bisa digunakan:

Huruf ta’ pada keadaan ini sebagai pengganti dari ya’ mtakallim.

Sekian dan demikian penjelasan tentang munada. Terima kasih telah berkunjung ke blog saya! Semoga bermanfaat!

=========

Referensi: