Biografi Ibnu Malik, Pengarang Kitab Alfiyyah
Biografi Ibnu Malik, Pengarang Kitab Alfiyyah
Biografi
Nama lengkap Ibnu Malik adalah Syeikh Al-Alamah Muhammad Jamaluddin ibnu Abdillah Ibnu Malik al-Thay, lahir di Jayyan (Jaén). Daerah ini sebuah kota kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol), sekarang merupakan salah satu propinsi di Spanyol dengan luas wilayah 422 km² yang masuk dalam wilayah Otonomi Andalusia. Pada saat itu, penduduk negeri ini sangat cinta kepada ilmu, dan mereka berpacu dalam menempuh pendidikan, bahkan berpacu pula dalam mengarang buku-buku ilmiah. Pada masa kecil, Ibnu Malik menuntut ilmu di daerahnya, terutama belajar pada Syaikh Al-Syalaubini (w. 645 H). Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah haji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus.
Nama lengkap Ibnu Malik adalah Syeikh Al-Alamah Muhammad Jamaluddin ibnu Abdillah Ibnu Malik al-Thay, lahir di Jayyan (Jaén). Daerah ini sebuah kota kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol), sekarang merupakan salah satu propinsi di Spanyol dengan luas wilayah 422 km² yang masuk dalam wilayah Otonomi Andalusia. Pada saat itu, penduduk negeri ini sangat cinta kepada ilmu, dan mereka berpacu dalam menempuh pendidikan, bahkan berpacu pula dalam mengarang buku-buku ilmiah. Pada masa kecil, Ibnu Malik menuntut ilmu di daerahnya, terutama belajar pada Syaikh Al-Syalaubini (w. 645 H). Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah haji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus.
Guru-Guru Beliau
Di Negeri Syam ia belajar ilmu dari beberapa ulama setempat,
antara lan:
1.
Al-Sakhawi (w. 643 H).
2.
Syaikh Ibnu Ya’isy
al-Halaby (w. 643 H).
3.
Syeikh Hasan bin Shabbah
4.
Syeikh Ibnu Abi Shaqr
5.
Syeikh Ibnu Najaz
al-Maushili
6.
Ibnu Hajib
7.
Ibnu Amrun
8.
Muhammad bin ABi Fadhal
al-Mursi
Di kota Dasmaskus dan Aleppo (Halab) nama Ibn Malik mulai
dikenal dan dikagumi oleh para ilmuan, karena cerdas dan pemikirannya jernih.
Ia banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang menggambarkan teori-teori
mazhab Andalusia, yang jarang diketahui oleh orang-orang Syiria waktu itu.
Teori nahwiyah semacam ini, banyak diikuti oleh murid-muridnya, seperti imam
Al-Nawawi, Ibnu al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan Qadli
al-Qudlat Ibn Jama’ah. Untuk menguatkan teorinya, sarjana besar kelahiran Eropa
ini, senantiasa mengambil saksi (syahid) dari teks-teks Al-Qur’an. Kalau tidak
didapatkan, ia menyajikan teks Al-Hadits. Kalau tidak didapatkan lagi, ia
mengambil saksi dari sya’ir-sya’ir sastrawan Arab kenamaan. Semua pemikiran
yang diproses melalui paradigma ini dituangkan dalam kitab-kitab karangannya,
baik berbentuk nazham (syair puitis) atau berbentuk natsar (prosa). Pada
umumnya, karangan tokoh ini lebih baik dan lebih indah dari pada tokoh-tokoh
pendahulunya.
Ibnu Malik memiliki semangat yang besar dalam mengajarkan
ilmu yang telah ia miliki. Ketika ia menghadiri majlisnya yang kadang belum di
hadiri oleh murid-muridnya, maka beliau berdiri di jerjak jendela dan berteriak
“qiraah, qiraah, Arabiyah, Arabiyah” (maksudnya memanggil siapa saja yang ingin
belajar ilmu qiraah atau ilmu arabiyah kepada beliau). Bila ternyata tidak ada
yang hadir maka berdoa dan segera pergi dengan berkata “saya tidak tau untuk
membebaskan tanggunganku kecuali dengan cara ini, karena kadangkala tidak ada
yang tau kalau saya duduk di sini”.
Walaupun Ibnu Malik juga ahli dalam ilmu qiraah, namun tidak
di ketahui murid beliau dalam ilmu qiraah. Ibnu Jazri mengatakan “ketika beliau
masuk kota Aleppo (Halab) banyak para ulama yang mengambil ilmu arabiyah dari
beliau, tetapi saya tidak mengetahui seorangpun yang membaca ilmu qiraah di
hadapannya dan saya juga tidak punya sanad ilmu qiraah kepada beliau”.
Kemungkinan besar ilmu qiraah beliau ajarkan di selain kota Aleppo.
Murid Beliau
Di antara murid-murid Ibnu Malik adalah :
1.
Anak beliau sendiri,
Muhammad Badaruddin (w. 686 H)
2.
Imam Nawawi
3.
Ibnu Ja’wan
4.
Ibnu Munajjy
5.
al-Yunaini
6.
Baha` bin Nuhas
7.
Syihabuddin asy-Syaghury
8.
Ibnu Abi Fath al-Ba’li
9.
al-Fariqy
10. Ibnu Hazim al-Azra’i
11. Ibnu Tamam at-Talli
12. Majduddin al-Anshari
13. Ibnu ‘Aththar
14. ‘Alauddin al-Anshari
15. Abu Tsana’ al-Halabi
16. Abu Bakar al-Mizzi
17. Ibnu Syafi’
18. Badaruddin bin Jamaah
19. Ibnu Ghanim
20. Al-Birzali
21. Ibnu Harb
22. ash-Shairafi
23. dll
Untuk murid beliau Imam Nawawi, sempat beliau abadikan dalam
nadham kitab Alfiyah beliau pada bait:
رَجُلٌ
مِنَ الْكِرَامِ عِنْدَنَا
“Dan seorang
laki-laki mulia di sisi kami”.
Ibnu Malik wafat di Damaskus pada malam Rabu 12 Ramadhan
tahun 672 H dalam usia 75 tahun.
Kitab alfiyah Ibnu Malik
Salah satu karya Imam Ibnu Malik yang paling tersohor adalah
kitab Alfiyah, sebuah nadham terdiri dari 1002 bait yang menjelaskan ilmu nahwu
sharaf. Kitab ini di pelajari di seluruh dunia sampai saat ini. Kitab alfiyah
ini sebenarnya merupakan kitab ringkasan dari kitab nadham karangan beliau
sendiri al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Karena itu, kitab
alfiyah juga di sebut dengan kitab al-Khulashah yang berarti ringkasan.
Di antara ulama, ada yang menghimpun semua tulisannya,
ternyata tulisan itu lebih banyak berbentuk nazham. Demikian tulisan Al-Sayuthi
dalam kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara karangannya adalah Nazhom
al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan semua
informasi tentang Ilmu Nahwu dan Shorof yang diikuti dengan komentar (syarah).
Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait, yang kini terkenal dengan
nama Alfiyah Ibnu Malik. Kitab ini bisa disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena
isinya mengutip inti uraian dari Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah (ribuan)
karena bait syairnya terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari delapan
puluh (80) bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait. Bab yang terpendek
diisi oleh dua bait seperti Bab al-Ikhtishash dan bab yang terpanjang adalah
Jama’ Taktsir karena diisi empat puluh dua bait. Kitab Alfiyah yang telah
diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia ini, memiliki posisi yang penting
dalam perkembangan Ilmu Nahwu. Berkat kitab ini dan kitab aslinya, nama Ibn
Malik menjadi popular, dan pendapatnya banyak dikutip oleh para ulama, termasuk
ulama yang mengembangkan ilmu di Timur. Al-Radli, seorang cendekiawan besar
ketika menyusun Syarah Al-Kafiyah karya Ibn Hajib, banyaklah mengutip dan
mempopulerkan pendapat Ibn Malik. Dengan kata lain, perkembangan nahwu setelah
ambruknya beberapa akademisi Abbasiyah di Baghdad, maka para pelajar pada
umumnya mengikuti pemikiran Ibnu Malik. Sebelum kerajaan besar di Andalusia
runtuh, pelajaran nahwu pada awalnya, tidak banyak diminati oleh masyarakat.
Kitab Alfiyah ini banyak di syarah oleh para ulama. Dalam
kitab Kasyf al-Zhunun, Haji Khalifah mengatakan bahwa para ulama penulis Syarah
Alfiyah berjumlah lebih dari empat puluh orang. Mereka ada yang menulis dengan
panjang lebar, ada yang menulis dengan singkat (mukhtashar), dan ada pula ulama
yang tulisannya belum selesai. Ada juga yang memberikan catatan pinggir
(hasyiyah) terhadap kitab-kitab syarah Alfiyah.
Di antara syarah-syarah kitab Alfiyah adalah :
1.
Durratul Mudhi`ah
adalah Syarah Alfiyah yang ditulis oleh putera Ibn Malik sendiri, Muhammad
Badruddin (w.686 H). Ini merupakan syarah kitab Alfiyah yang pertama sekali di
tulis. Syarah ini banyak mengkritik pemikiran nahwiyah yang diuraikan oleh
ayahnya, seperti kritik tentang uraian maf’ul mutlaq, tanazu’ dan sifat
mutasyabihat. Kritikannya itu aneh tapi putera ini yakin bahwa tulisan ayahnya
perlu ditata ulang. Atas dasar itu, Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan
dan mengambil syahid dari ayat al-Qur’an. Disitu tampak rasional juga, tetapi
hampir semua ilmuan tahu bahwa tidak semua teks al-Qur’an bisa disesuaikan
dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap baku oleh ulama. Kritikus yang
pada masa mudanya bertempat di Ba’labak ini, sangat rasional dan cukup
beralasan, hanya saja ia banyak mendukung teori-teori nahwiyah yang syadz
Karena itu, penulis-penulis Syarah Alfiyah yang muncul berikutnya, seperti Ibn
Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni, banyak meralat alur pemikiran putra Ibn Malik
tadi. Meskipun begitu, Syarah Badrudin ini cukup menarik, sehingga banyak juga
ulama besar yang menulis hasyiyah untuknya, seperti karya Ibn Jama’ah (w.819
H), Al-‘Ainy (w.855 H), Zakaria al-Anshariy (w.191 H), Al-Sayuthi (w.911 H),
Ibn Qasim al-Abbadi (w.994 H), dan Qadli Taqiyuddin ibn Abdul qadir al-Tamimiy
(w.1005 H).
2.
Tashil al-Fawaid dan
Nazham Alfiyah karya Al-Muradi (w. 749 H) beliau adalah murid Ibnu
Hayyan. Beliau menulis dua kitab syarah yaitu kitab Tashil al-Fawaid dan Nazham
Alfiyah, keduanya karya Ibn Malik. Meskipun syarah ini tidak popular di
Indonseia, tetapi pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh ulama lain. Antara
lain Al-Damaminy (w. 827 H) seorang sastrawan besar ketika menulis syarah
Tashil al-Fawaid menjadikan karya Al-Muradi itu sebagai kitab rujukan. Begitu
pula Al-Asymuni ketika menyusun Syarah Alfiyah dan Ibn Hisyam ketika menyusun
Al-Mughni banyak mengutip pemikiran al-Muradi yang muridnya Abu Hayyan itu.
3.
Audlah al-Masalik
karya Ibnu Hisyam (w.761 H) adalah ahli nahwu raksasa yang karya-karyanya
banyak dikagumi oleh ulama berikutnya. Di antara karya itu Syarah Alfiyah yang
bernama Audlah al-Masalik yang terkenal dengan sebutan Audlah. Dalam kitab ini
ia banyak menyempurnakan definisi suatu istilah yang konsepnya telah disusun
oleh Ibn Malik, seperti definisi tentang tamyiz. Ia juga banyak menertibkan
kaidah-kaidah yang antara satu sama lain bertemu, seperti kaidah-kaidah dalam
Bab Tashrif. Tentu saja, ia tidak hanya terpaku oleh Mazhab Andalusia, tetapi
juga mengutip Mazhab Kufah, Bashrah dan semacamnya. Kitab ini cukup menarik,
sehingga banyak ulama besar yang menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah
Al-Sayuthi, Hasyiyah Ibn Jama’ah, Ha-syiyah Putera Ibn Hisyam sendiri, Hasyiyah
Al-Ainiy, Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah Al-Sa’di al-Maliki al-Makki, Muhammad
Muhyiddin Abdul Hamid dengan tiga syarahnya terhadap kitab Audhah Masalik dan
yang menarik lagi adalah catatan kaki ( ta’liq ) bagi Kitab al-Taudlih yang
disusun oleh Khalid ibn Abdullah al-Azhari (w. 905 H) dengan nama at-Tashreh li
madhmun at-Taudhih.
4.
Syarah Alfiyah karya
Ibnu Aqil (w. 769 H) adalah ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat sebagai
penghulu besar di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal adalah
Syarah Alfiyah. Syarah ini sangat sederhana dan mudah dicerna oleh orang-orang
pemula yang ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik . Ia mampu menguraikan
bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga terungkaplah apa yang
dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Syarah Ibnu Aqil merupakan Syarah
Alfiyah yang paling banyak beredar dan dipelajari oleh kaum santri di
Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis
hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Ibn al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah al-Ajhuri,
Hasyiyah al-Syuja’i, dan Hasyiyah Al-Khudlariy.
5.
Manhaj Salik ila
Alfiyah Ibn Malik karya Al-Asymuni (w. 929 H). Syarah ini sangat kaya
akan informasi, dan sumber kutipannya sangat bervariasi. Syarah ini dapat
dinilai sebagai kitab nahwu yang paling sempurna, karena memasukkan berbagai
pendapat mazhab dengan argumentasinya masing-masing. Dalam syarah ini, pendapat
para penulis Syarah Alfiyah sebelumnya banyak dikutip dan dianalisa. Antara
lain mengulas pendapat Putra Ibn Malik, Al-Muradi, Ibn Aqil, Al-Sayuthi, dan
Ibn Hisyam, bahkan dikutip pula komentar Ibn Malik sendiri yang dituangkan
dalam Syarah Al-Kafiyah , tetapi tidak dicantumkan dalam Alfiyah . Semua
kutipan-kutipan itu diletakkan pada posisi yang tepat dan disajikan secara
sistematis, sehingga para pembaca mudah menyelusuri suatu pendapat dari sumber
aslinya. Kitab ini memiliki banyak hasyiyah juga, antara lain: Hasyiyah Hasan
ibn Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah Ahmad ibn Umar al-Asqathi, Hasyiyah al-Hifni,
dan Hasyiyah al-Shabban (4 jilid).
6.
Maqashid asy-Syafiyah
fi Syarh Khulasah Syafiyah karya asy-Syathibi (w. 790 H). Merupakan
salah satu syarah Alfiyah yang paling besar (6 jilid).
7.
Manhaj as-Salik fi
al-Kalam ‘ala Alfiyah Ibnu Malik karya Ibnu Hayyan (w. 745 H), shahib
kitab Bahrul Muhid. Beliau sempat semasa dengan Ibnu Malik namun tidak sempat
berguru dengan beliau. Beliau berguru dengan murid-murid Ibnu Malik.
8.
Al-Makudi (w. 780 H).
Beliau mensyarah Alfiyah dua kali, kecil dan besar. Yang di cetak saat ini
adalah yang kecil yang di beri hasyiah oleh Ibnu Hamidun.
9.
Bahjatul Wardiyah karya
Imam Sayuthi,
10. Ibnu Thulun
11. Syarah Al-Harawi
12. Syarah Ibnu Jazry
13. Dll
Selain itu ada juga para ulama yang menuliskan i’rab dari
nadham alfiyah, seperti kitab Tamrin Thulab karangan Syeik Khalid Azhari
(w.905).
Karya lain Ibnu Malik selain kitab Alfiyah antara lain:
1.
Al-Kafiyah asy-Syafiya dan
Syarahnya dalam bidang kaidah sharaf
2.
Tashil al-Fawaid wa Takmil
al-Maqashid dan Syarahnya dalam bidang kaidah nahwu
3.
Ijaz at-Tashrif fi `ilmi
at-Tashrif
4.
Tuhfatu al-Maudud fi
al-Maqshur wa al-Mamdud
5.
Lamiyatu al-Af`al
6.
Al-I`tidhad fi adh-dha' wa
azh-zha'
7.
Syawahid at-Taudhih
limusykilat al-Jami` ash-Shahih, merupakan syarah secara nahwu dari 100 hadits
yang ada di Shahih Bukhari
Ibnu Malik dan Ibnu Mu’thi
Ada kisah menarik tentang penyusunan kitan Alfiyah Ibnu
Malik. Ketika memulai menulis nadhamnya, saat baru sampai pada nadham :
فائقة
ألفية ابن معطي
(Kitab Alfiyah yang
aku tulis ini) mengungguli kitab Alfiyah karya Ibnu Mu'thi"
Beliau menambahkan lagi ;
فائقة منها
بألف بيت
“mengungguli dari
Alfiyah Ibnu Mu’thi dengan seribu bait”.
Sampai pada kalimat ini, Ibnu Malik kehilangan inspirasi
untuk melanjutkan nadhamnya. Beliau berusaha melanjutkannya namun hingga sampai
beberapa hari belum juga bisa beliau sempurnakan, sampai pada suatu malam
beliau mimpi bertemu dengan seseorang :
Orang itu bertanya pada beliau : "Aku dengar kamu
mengarang kitab Alfiyah dalam ilmu nahwu"
Beliau menjawab : "Iya benar".
Orang itu bertanya lagi : "Sampai pada nadham mana
engkau menulisnya?"
Ibnu Malik menjawab : "Sampai pada 'fa'iqatan minha bi
alfi baiti"
orang itu bertanya "Apa yang menyebabkanmu tidak
menyempurnakannya?".
Beliau menjawab : "Sudah beberapa hari aku tidak bisa
melanjutkan menulis nadham".
Orang itu berkata lagi : "Apakah kamu ingin
menyempurnakannya?"
"Tentu" jawab Ibnu Malik.
Orang itu berkata :
فَائِقَـةً
مِنْهُ بِألْـفِ بَيْتِ ¤ وَالْحَيُّ يَغْلِبُ ألْفَ مَيِّـتِ
“Mengungguli dari
Alfiyah Ibnu Mu’thi dengan seribu bait”.
"Dan arang masih
hidup bisa mengalahkan seribu orang mati".
Terperangah Ibnu Malik dengan perkataan itu,
Ibnu Malik bertanya : "Apakah anda Ibnu Mu'thi?"
"Betul" jawab orang itu.
Ibnu Malik merasa malu kepada beliau.
Keesokan harinya, Ibnu Malik menghapus bait yang tidak
sempurna itu, dan menggantinya dengan bait lain yang isinya memuji kehebatan
Ibnu Mu'thi yaitu :
وَهْوَ بِسَبْقٍ
حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
“Beliau (Ibnu Mu’thi)
lebih memperoleh keutamaan karena lebih awal.
Beliau berhak atas
sanjunganku yang indah”
وَاللَّهُ يَقْضِي
بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ
“Semoga Allah menetapkan
karunianya yang luas
untukku dan untuk
beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat.”
Ibnu Mu’thi adalah al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Mu’thi
al-Zawawy al-Magribi. Lahir di Magribi, menetap dalam masa yang lama di negeri
Syam (Syria), kemudian melakukan perjalanan ke Mesir sehingga beliau wafat pada
628 H, umur beliau ketika itu 64 (enam puluh empat) tahun dan dikebumikan dekat
kubur Imam Syafi’i di Mesir.
Setelah Alfiyah Ibnu Malik, Imam Sayuthi juga mengarang
kitab nadham nahwu yang melebihi Alfiyah Ibnu Malik, pada muqaddimahnya beliau
berkata :
فائقة ألفية
ابن مالك
“(Alfiyah saya ini)
mengungguli dari Alfiyah Ibnu Malik”.
Selanjutnya Imam
al-Ajhuri al-Maliky juga mengarang nadham nahu yang melebihi nadham Imam
Sayuthi dan beliau juga berkata:
فائقة ألفية
السيوطي
“(Alfiyah saya ini)
mengungguli dari Alfiyah Imam Sayuthi”.
Namun kedua Alfiyah yang
terakhir ini ternyata tidak sepopuler Alfiyah Ibnu Malik.
Diambil dari berbagai
sumber (Dikutip; mudimesra.com)
Posting Komentar